Senin, 25 Maret 2013

SISTEM HUKUM ADAT


Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem, yaitu peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam pikiran. Begitupun hukum adat. Sistem hukum adat bersendi atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum Barat. Untuk dapat sadar akan sistem hukum adat, orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Dalam bukunya : Het adatrecht van Ned Indie, yang sungguh merupakan standaardwerk tentang ilmu hukum adat, Van Vollenhoven melukiskan susunan hukum adat adat pada tiap-tiap lingkaran hukum adat (adatrechtskring) di seluruh kepulauan Indonesia. Dalam tulisan itu Van Vollenhoven menggunakan metode dan istilah-istilah hukum yang lazim dipakai dalam sistem hukum Barat. Ter Haar, murid utama dari Van Vollenhoven, menguraikan dalam bukunya : Beginselen en Stelsel van het Adatrecht bagaimana sifat dasar-dasar hukum dan bagaimana bentuk sistem hukum yang merupakan latar belakang dari segala lembaga-lembaga, dari bermacam-macam hubungan hukum serta bermacam-macam perbuatan hukum di dalam lingkungan hukum adat.
Antara sistem hukum adat dan sistem hukum Barat, terdapat perbedaan fundamental misalnya :
a.       Hukum barat mengenal zakelijke rechten dan persoonlijke rechten. Yaitu yang berlaku terhadap tiap-tiap orang. Persoonlijk recht adalah hak orang seseorang atas sesuatu objek yang hanya berlaku terhadap sesuatu orang lain yang tertentu.
Hukum adat tidak mengenal pembagian hak-hak dalam dua golongan seperti yang tersebut diatas.
Perlindungan hak-hak menurut sistem hukum adat adalah di tangan hakim. Di dalam persengketaan di muka pengadilan, hakim menimbang berat-ringanya kepentingan-kepentingan hukum yang saling bertentangan. Misalnya apabila seseorang bukan pemilik sawah menjual lepas sawah itu kepada orang yang bersangka baik (te goeder trouw) dan kemudian pemilik sawah menuntut supaya sawah itu dikembalikan kepadanya, maka hakim akan menimbang kepentingannya siapa yang lebih berat di dalam perkara konkret yang diadili itu, kepentingan pemilik atau kepentingan pembeli yang bersangka baik.
b.      Hukum Barat mengenal perbedaan antara publiek recht (hukum umum) dan privaatrecht (hukum privat). Hukum adat tidak mengenal perbedaan demikian, atau jika hendak mengadakan perbedaan antara peraturan-peraturan hukum adat yang bersifat publikdan peraturan-peraturan yang hanya mengenai lapangan privat, maka batas-batas antara kedua lapangan itu di dalam hukum adat adalah berlainan dari batas-batas antara lapangan publik dan lapangan privaatrecht pada hukum Barat.
c.       Pelanggaran-pelanggaran hukum menurut sistem hukum Barat dibagi-bagi dalam golongan pelanggaran yang bersifat pidana dan harus diperiksa oleh hakim pidana (strafrechter). Dan pelanggaran-pelanggaran yang hanya mempunyai akibat dalam lapangan perdata itu, sehingga pelanggaran-pelanggaran itu harus diadili oleh hakim perdata.
Hukum adat tidak mengenal perbedaan demikian. Tiap-tiap pelanggaran hukum adat membutuhkan pembetulan hukum kembali dan hakim (kepala adat) memutuskan supaya adat (adatreactie) apa yang harus digunakan untuk membetulkan hukum yang dilanggar itu. Metode yang dipakai oleh Van Vollenhoven untuk melukiskan hukum adat, ialah :
“pertama, diuraikan bentuk susunan persekutuan-persekutuan hukum di lapangan rakyat, yaitu organisasi desa, hagari, huta, kuria, marga, dan sebagainya, selanjutnya ditinjau hukum famili, hukum perkawinan dan hukum waris, diikuti oleh lukisan hukum tanah dan air. Sesudah itu diuraikan hukum harta benda lain dari pada tanah dan air (hukum hutang piutang) dan pada akhirnya dilukiskan hukum pelanggaran (hukum adat delik).
Juga Ter Haar mengemukakan lukisan dasar-dasar susunan rakyat (volks-ordening), setelah itu dilukiskan dasar-dasar hukum dari sistem hukum tanah serta sistem perbuatan-perbuatan hukum yang menyangkut tanah, selanjutnya dikupas dasar-dasar hukum hutang piutang, diikuti oleh tinjauan dasar-dasar hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, dasar-dasar hukum famili, hukum perlanggaran. Metode Van Vollenhoven dan Ter Haar ini adalah sungguh tepat untuk menunjukkan bentuk dan sifat-sifat tersendiri dari sistem hukum adat.


1.      Bahasa Hukum
Lukisan sesuatu sistem hukum memerlukan pemakaian bahasa hukum teknis secara konsekuen. Hukum Barat mempunyai istilah-istilah hukum teknis yang dibina berabad-abad oleh para ahli hukum, para hamik dan oleh pembentuk undang-undang.
Bagi hukum adat dan Ter Haar menguraikan betapa pentingnya soal hukum adat bagi pelajaran dan pengertian sistem hukum adat serta bagi di berbagai-bagai lingkaran hukum adat mempunyai isi tertentu. Bentuk istilah-istilah itu adalah demikian, sehingga maknanya dapat terlukis secara tajam dan dapat menggambarkan maknanya.
Pada zaman Hindia-Belanda, istilah-istilah hukum adat seperti jual, sewa, dan sebagainya disalin dalam bahasa Belanda dengan istilah-istilah verkopen, huren, dan sebagainya dan pada umumnya orang menganggap seolah-olah isi dan arti jual, sewa, dan sebagainya itu sama dengan isi dan arti verkopen,huren, dan sebagainya.
Kita mengetahui dalam pelajaran ilmu hukum adat, bahwa istlah jual, itu mengenai pengoperan hak (overdracht) dari seseorang kepada orang lain. Apabila pengoperan itu dilakukan untuk selama-lamanya, maka pengoperan itu disebut : jual lepas atau jual mutlak. Pengoperan hak untuk waktu yang tertentu, misalnya pengoperan hak atau pengoperan hak atas sesuatu tanah untuk satu atau dua tahun, disebut : jual tahunan dan pengoperan hak atas tanah dengan syarat, bahwa tanah itu dapat pulang kembali kepada yang menjual asal uang pembayaran dari pembeli itu dikembalikan (ditebus), disebut jual sende atau jual gadai. Ketiga jenis pengoperan tersebut berlaku dengan pembayaran kontan dari pihak pembeli.
Dari apa yang tersebut di atas,  maka teranglah bahwa kata : jual sebagai istilah hukum adat tidak sama artinya dengan kata verkopeni sebagai istilah hukum Barat. Malah perbuatan hukum jual lepas dalam sistem hukum adat adalah berlainan dengan perbuatan hukum verhopen dalam sistem hukum Barat. Sebagai telah diuraikan diatas, jual lepas yaitu overdracht, untuk selama-lamanya dengan pembayaran kontan dari pihak pembeli. Verhopen adalah sistem hukum Barat tentang suatu perbuatan hukum yang bersifat obligatoir, artinya verkoper berjanji dan wajib mengoperkan barang yang di verkoop kepada pembeli dengan tidak dipersoalkan apakah harga barang itu dibayar kontan atau tidak. Dalam sistem hukum adat, beli barang dengan tidak membayar kontan, bukan merupakan perbuatan jual, melainkan masuk golongan hukum utang piutang, yaitu hutang barang. Segala perbuatan kredit di lapangan apapun disebut dengan istilah hutang, misalnya hutang barang, hutang budi, hutang darah, dan sebagainya.
Dalam sistem hukum adat, segala perbuatan dan keadaan yang mempunyai sifat sama disebut dengan istilah yang sama. Misalnya; istilah gantungan dipakai untuk menyebut segala keadaan yang belum mempunyai sifat tetap. Kawin gantung adalah perkawinan di mana kedua mempelai belum boleh hidup bersama. Sawah gantungan adalah sawah yang masih di dalam tangan kepada desa dan belum diberikan kepada salah seorang warga desa yang tertentu. Warisan yang digantung berarti warisan yang belum dibagi antara para ahli waris.
Lain istilah, ialah panjer yaitu tanda pengikat. Persetujuan dengan lisan antara dua pihak akan mengikat, apabila disertai dengan suatu panjer. Misalnya persetujuan untuk menjual (lepas, sende atau tahunan) suatu tanah akan mengikat pihak yang sanggup menjual apabila ia menerima barang atau uang sebagai panjer.
Pertunangan antara bujang dan gadis terjadi dengan diberikannya panjer (peningset, penyancang, tanda) dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Perjanjian kerja di dalam lapangan hukum adat biasanya mulai berlaku dengan pemberian suatu panjer (biasanya uang) dari pihak majikan kepada pihak buruh.
2.      Kata adat mamupuh (dari pupuh) pada suku-suku Dayak di Kalimantan rupa-rupanya dipakai untuk menyebut perbuatan-perbuatan yang melahirkan hak utama (voorkeurrecht) misalnya pekerjaan-pekerjaan permulaan (persiapan) untuk membuka suatu bidang tanah, atau suatu persetujuan untuk mengikat seorang bujang dan seorang gadis sebagai suami-isteri di kemudian hari (voorverloving), pun tiap-tiap persetujuan yang disertai dengan suatu tanda yang bisa dilihat (zichtbaar teken) disebut mamupuh.)
Di Ambon, segala orang yang berada di bawah kekuasaan kepala dati, dikatakan bahwa mereka adalah di bawah perlindungan kepala tersebut. Di Minangkabau para warga famili ada di bawah payung penghulu andiko dari famili itu.
Seringkali nama sesuatu obyek telah cukup memberi petunjun tentang sifat obyek itu. Misalnya tanah yang dinamakan sawah mempunyai sifat dan kedudukan hukum tersendiri, begitupun tanah yang disebut: tegalan, atau pangonan, atau kebun, atau rimba (hutan). Semua itu adalah berjenis-jenis tanah yang masing-masing mempunyai sifat dan kedudukan hukum sendiri-sendiri.
Bahasa hukum lahir dan tumbuh dengan selangkah demi selangkah. Kata-kata yang dipakai terus menerus untuk menyebut dengan konsekuen suatu perbuatan atau keadaan, lambat laun menjadi istilah yang mempunyai isi yang tertentu, istilah hukum : Yayasan dan warga negara adalah dua contoh istilah yang lahir dan tumbuh pada zaman modern ini.
2. Pepatah Adat
Kecuali istilah-istilah hukum adat, di berbagai lingkaran hukum adat terdapat pula pepatah adat (umpama, kato adat, patitih, mamangan, pitua) yang berguna sebagai petunjuk tentang adanya sesuatu peraturan hukum adat.
Buku Vergouwen tentang Het rechtsleven der Toba-Bataks dan buku Mr. Willilnck tentang het Rechtsleven bij de Minangkabausche Maleiers memuat banyak pepatah adat yang terdapat di daerah Batak dan di daerah Minangkabau.
Beberapa contoh dari daerah Batak:
molo-metmet binanga, na metmet do dengke,
Molo godang binanga, godang dengke
Dalam bahasa Indonesia:
“Jika (anak) sungai kecil, maka ikannya juga kecil,
Jika (anak) sungai besar, maka ikannya juga besar”.
Umpama ini mengandung dasar hukum, bahwa upah bagi mereka yang menyelesaikan sesuatu soal hukum harus seimbang dengan pentingnya soal tersebut.
togu urat ni bulu, toguan urat ni padang,
Togu pe na nidok ni uhum, toguan na nidok ni padan”.
Dalam bahasa Indonesia:
“Akar bambu kuat, akan tetapi akar rumput lebih kuat lagi”.
Umpama ini mengandung dasar hukum, bahwa peraturan-peraturan hukum (positif) adalah kuat, akan tetapi sesuatu persetujuan adalah lebih kuat daripada peraturan hukum.
habang lali ndang habang tukko,
habang tukko, ndang habang tano”.
Dalam bahasa Indonesia:
“Apabila pencuri lari terbang, tiang tetap berdiri,
apabila tiang lari terbang, tanah tetap tinggal di tempatnya.”
Pepatan ini mengandung dasar hukum, bahwa apabila seorang warga marga rakyat (parripe) meninggalkan huta tempat tinggalnya, maka tanah yang ditinggalkan jatuh kembali kepada (hak pertunangan) huta.
Di daerah Minangkabau:
sakali aye gadang, sekali tepian baranja,
sakali raja ba® ganti, sakali adat berobah”.
Dalam bahasa Indonesia:
“Apabila air meluap, tempat pemandian bergeser,
apabila ada penggantian raja, maka adat akan berganti juga.”
Pepatah ini mengandung pengertian, bahwa adat tidak statis melainkan berubah menurut perubahan yang berlaku dengan penggantian kepala adat.
Romah kumpulan bakarib babaid,
kaate sa pucuk, ke bawah saoere,
sa utang, sapiutang,
sa malu, sasopan”.
Dalam bahasa Indonesia:
“Kumpulan rumah merupakan satu kebulatan, asal dari satu ibu pokok (ibu asal), mereka mempunyai akar-tunggang sama, sebagai juga hanya mempunyai satu pucuk (yaitu satu kepala famili bersama).”
Pitua ini menunjukkan adanya dasar tanggung menanggung, dasar solidaritas famili terhadap segala utang piutang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar