Tiap-tiap
hukum merupakan suatu sistem, yaitu peraturan-peraturannya merupakan suatu
kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam pikiran. Begitupun hukum adat. Sistem
hukum adat bersendi atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, yang tidak
sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum Barat. Untuk dapat sadar
akan sistem hukum adat, orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang
hidup di dalam masyarakat Indonesia. Dalam bukunya : Het adatrecht van Ned Indie, yang sungguh merupakan standaardwerk tentang ilmu hukum adat,
Van Vollenhoven melukiskan susunan hukum adat adat pada tiap-tiap lingkaran
hukum adat (adatrechtskring) di
seluruh kepulauan Indonesia. Dalam tulisan itu Van Vollenhoven menggunakan
metode dan istilah-istilah hukum yang lazim dipakai dalam sistem hukum Barat.
Ter Haar, murid utama dari Van Vollenhoven, menguraikan dalam bukunya : Beginselen en Stelsel van het Adatrecht
bagaimana sifat dasar-dasar hukum dan bagaimana bentuk sistem hukum yang merupakan
latar belakang dari segala lembaga-lembaga, dari bermacam-macam hubungan hukum
serta bermacam-macam perbuatan hukum di dalam lingkungan hukum adat.
Antara
sistem hukum adat dan sistem hukum Barat, terdapat perbedaan fundamental
misalnya :
a. Hukum
barat mengenal zakelijke rechten dan persoonlijke rechten. Yaitu yang berlaku
terhadap tiap-tiap orang. Persoonlijk
recht adalah hak orang seseorang atas sesuatu objek yang hanya berlaku
terhadap sesuatu orang lain yang tertentu.
Hukum adat tidak
mengenal pembagian hak-hak dalam dua golongan seperti yang tersebut diatas.
Perlindungan hak-hak
menurut sistem hukum adat adalah di tangan hakim. Di dalam persengketaan di
muka pengadilan, hakim menimbang berat-ringanya kepentingan-kepentingan hukum
yang saling bertentangan. Misalnya apabila seseorang bukan pemilik sawah
menjual lepas sawah itu kepada orang yang bersangka baik (te goeder trouw) dan kemudian pemilik sawah menuntut supaya sawah
itu dikembalikan kepadanya, maka hakim akan menimbang kepentingannya siapa yang
lebih berat di dalam perkara konkret yang diadili itu, kepentingan pemilik atau
kepentingan pembeli yang bersangka baik.
b. Hukum
Barat mengenal perbedaan antara publiek
recht (hukum umum) dan privaatrecht
(hukum privat). Hukum adat tidak mengenal perbedaan demikian, atau jika hendak
mengadakan perbedaan antara peraturan-peraturan hukum adat yang bersifat
publikdan peraturan-peraturan yang hanya mengenai lapangan privat, maka
batas-batas antara kedua lapangan itu di dalam hukum adat adalah berlainan dari
batas-batas antara lapangan publik dan lapangan privaatrecht pada hukum Barat.
c. Pelanggaran-pelanggaran
hukum menurut sistem hukum Barat dibagi-bagi dalam golongan pelanggaran yang
bersifat pidana dan harus diperiksa oleh hakim pidana (strafrechter). Dan pelanggaran-pelanggaran yang hanya mempunyai
akibat dalam lapangan perdata itu, sehingga pelanggaran-pelanggaran itu harus
diadili oleh hakim perdata.
Hukum adat tidak
mengenal perbedaan demikian. Tiap-tiap pelanggaran hukum adat membutuhkan
pembetulan hukum kembali dan hakim (kepala adat) memutuskan supaya adat (adatreactie) apa yang harus digunakan
untuk membetulkan hukum yang dilanggar itu. Metode yang dipakai oleh Van
Vollenhoven untuk melukiskan hukum adat, ialah :
“pertama, diuraikan
bentuk susunan persekutuan-persekutuan hukum di lapangan rakyat, yaitu
organisasi desa, hagari, huta, kuria, marga, dan sebagainya, selanjutnya
ditinjau hukum famili, hukum perkawinan dan hukum waris, diikuti oleh lukisan
hukum tanah dan air. Sesudah itu diuraikan hukum harta benda lain dari pada
tanah dan air (hukum hutang piutang) dan pada akhirnya dilukiskan hukum
pelanggaran (hukum adat delik).
Juga Ter Haar
mengemukakan lukisan dasar-dasar susunan rakyat (volks-ordening), setelah itu dilukiskan dasar-dasar hukum dari
sistem hukum tanah serta sistem perbuatan-perbuatan hukum yang menyangkut
tanah, selanjutnya dikupas dasar-dasar hukum hutang piutang, diikuti oleh
tinjauan dasar-dasar hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain,
dasar-dasar hukum famili, hukum perlanggaran. Metode Van Vollenhoven dan Ter
Haar ini adalah sungguh tepat untuk menunjukkan bentuk dan sifat-sifat
tersendiri dari sistem hukum adat.
1.
Bahasa
Hukum
Lukisan
sesuatu sistem hukum memerlukan pemakaian bahasa hukum teknis secara konsekuen.
Hukum Barat mempunyai istilah-istilah hukum teknis yang dibina berabad-abad
oleh para ahli hukum, para hamik dan oleh pembentuk undang-undang.
Bagi
hukum adat dan Ter Haar menguraikan betapa pentingnya soal hukum adat bagi
pelajaran dan pengertian sistem hukum adat serta bagi di berbagai-bagai
lingkaran hukum adat mempunyai isi tertentu. Bentuk istilah-istilah itu adalah
demikian, sehingga maknanya dapat terlukis secara tajam dan dapat menggambarkan
maknanya.
Pada
zaman Hindia-Belanda, istilah-istilah hukum adat seperti jual, sewa, dan
sebagainya disalin dalam bahasa Belanda dengan istilah-istilah verkopen, huren, dan sebagainya dan pada
umumnya orang menganggap seolah-olah isi dan arti jual, sewa, dan
sebagainya itu sama dengan isi dan arti verkopen,huren,
dan sebagainya.
Kita
mengetahui dalam pelajaran ilmu hukum adat, bahwa istlah jual, itu mengenai
pengoperan hak (overdracht) dari
seseorang kepada orang lain. Apabila pengoperan itu dilakukan untuk
selama-lamanya, maka pengoperan itu disebut : jual lepas atau jual mutlak.
Pengoperan hak untuk waktu yang tertentu, misalnya pengoperan hak atau
pengoperan hak atas sesuatu tanah untuk satu atau dua tahun, disebut : jual
tahunan dan pengoperan hak atas tanah dengan syarat, bahwa tanah itu dapat
pulang kembali kepada yang menjual asal uang pembayaran dari pembeli itu
dikembalikan (ditebus), disebut jual sende atau jual gadai. Ketiga jenis
pengoperan tersebut berlaku dengan pembayaran kontan dari pihak pembeli.
Dari
apa yang tersebut di atas, maka
teranglah bahwa kata : jual sebagai istilah hukum adat tidak sama artinya
dengan kata verkopeni sebagai istilah
hukum Barat. Malah perbuatan hukum jual lepas dalam sistem hukum adat adalah
berlainan dengan perbuatan hukum verhopen
dalam sistem hukum Barat. Sebagai telah diuraikan diatas, jual lepas yaitu overdracht, untuk selama-lamanya dengan
pembayaran kontan dari pihak pembeli. Verhopen
adalah sistem hukum Barat tentang suatu perbuatan hukum yang bersifat obligatoir, artinya verkoper berjanji dan wajib mengoperkan barang yang di verkoop kepada pembeli dengan tidak
dipersoalkan apakah harga barang itu dibayar kontan atau tidak. Dalam sistem
hukum adat, beli barang dengan tidak membayar kontan, bukan merupakan perbuatan
jual, melainkan masuk golongan hukum utang piutang, yaitu hutang barang. Segala
perbuatan kredit di lapangan apapun disebut dengan istilah hutang, misalnya
hutang barang, hutang budi, hutang darah, dan sebagainya.
Dalam
sistem hukum adat, segala perbuatan dan keadaan yang mempunyai sifat sama
disebut dengan istilah yang sama. Misalnya; istilah gantungan dipakai untuk
menyebut segala keadaan yang belum mempunyai sifat tetap. Kawin gantung adalah
perkawinan di mana kedua mempelai belum boleh hidup bersama. Sawah gantungan
adalah sawah yang masih di dalam tangan kepada desa dan belum diberikan kepada
salah seorang warga desa yang tertentu. Warisan yang digantung berarti warisan
yang belum dibagi antara para ahli waris.
Lain
istilah, ialah panjer yaitu tanda pengikat. Persetujuan dengan lisan antara dua
pihak akan mengikat, apabila disertai dengan suatu panjer. Misalnya persetujuan
untuk menjual (lepas, sende atau tahunan) suatu tanah akan mengikat pihak yang
sanggup menjual apabila ia menerima barang atau uang sebagai panjer.
Pertunangan
antara bujang dan gadis terjadi dengan diberikannya panjer (peningset,
penyancang, tanda) dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Perjanjian
kerja di dalam lapangan hukum adat biasanya mulai berlaku dengan pemberian suatu
panjer (biasanya uang) dari pihak majikan kepada pihak buruh.
2. Kata
adat mamupuh (dari pupuh) pada
suku-suku Dayak di Kalimantan rupa-rupanya dipakai untuk menyebut
perbuatan-perbuatan yang melahirkan hak utama (voorkeurrecht) misalnya pekerjaan-pekerjaan permulaan (persiapan)
untuk membuka suatu bidang tanah, atau suatu persetujuan untuk mengikat seorang
bujang dan seorang gadis sebagai suami-isteri di kemudian hari (voorverloving), pun tiap-tiap
persetujuan yang disertai dengan suatu tanda yang bisa dilihat (zichtbaar teken) disebut mamupuh.)
Di
Ambon, segala orang yang berada di bawah kekuasaan kepala dati, dikatakan bahwa
mereka adalah di bawah perlindungan kepala tersebut. Di Minangkabau para warga
famili ada di bawah payung penghulu andiko dari famili itu.
Seringkali
nama sesuatu obyek telah cukup memberi petunjun tentang sifat obyek itu.
Misalnya tanah yang dinamakan sawah mempunyai sifat dan kedudukan hukum
tersendiri, begitupun tanah yang disebut: tegalan, atau pangonan, atau kebun,
atau rimba (hutan). Semua itu adalah berjenis-jenis tanah yang masing-masing
mempunyai sifat dan kedudukan hukum sendiri-sendiri.
Bahasa
hukum lahir dan tumbuh dengan selangkah demi selangkah. Kata-kata yang dipakai
terus menerus untuk menyebut dengan konsekuen suatu perbuatan atau keadaan,
lambat laun menjadi istilah yang mempunyai isi yang tertentu, istilah hukum :
Yayasan dan warga negara adalah dua contoh istilah yang lahir dan tumbuh pada
zaman modern ini.
2. Pepatah Adat
Kecuali
istilah-istilah hukum adat, di berbagai lingkaran hukum adat terdapat pula
pepatah adat (umpama, kato adat, patitih, mamangan, pitua) yang
berguna sebagai petunjuk tentang adanya sesuatu peraturan hukum adat.
Buku
Vergouwen tentang Het rechtsleven der
Toba-Bataks dan buku Mr. Willilnck tentang het Rechtsleven bij de Minangkabausche Maleiers memuat banyak pepatah
adat yang terdapat di daerah Batak dan di daerah Minangkabau.
Beberapa
contoh dari daerah Batak:
“molo-metmet binanga, na metmet do dengke,
Molo godang binanga,
godang dengke”
Dalam
bahasa Indonesia:
“Jika
(anak) sungai kecil, maka ikannya juga kecil,
Jika
(anak) sungai besar, maka ikannya juga besar”.
Umpama
ini mengandung dasar hukum, bahwa upah bagi mereka yang menyelesaikan sesuatu
soal hukum harus seimbang dengan pentingnya soal tersebut.
“togu urat ni bulu, toguan urat ni padang,
Togu pe na nidok ni
uhum,
toguan na nidok ni padan”.
Dalam
bahasa Indonesia:
“Akar
bambu kuat, akan tetapi akar rumput lebih kuat lagi”.
Umpama
ini mengandung dasar hukum, bahwa peraturan-peraturan hukum (positif) adalah
kuat, akan tetapi sesuatu persetujuan adalah lebih kuat daripada peraturan
hukum.
“habang lali ndang habang tukko,
habang tukko, ndang
habang tano”.
Dalam
bahasa Indonesia:
“Apabila
pencuri lari terbang, tiang tetap berdiri,
apabila
tiang lari terbang, tanah tetap tinggal di tempatnya.”
Pepatan
ini mengandung dasar hukum, bahwa apabila seorang warga marga rakyat (parripe) meninggalkan huta tempat
tinggalnya, maka tanah yang ditinggalkan jatuh kembali kepada (hak pertunangan)
huta.
Di
daerah Minangkabau:
“sakali aye gadang, sekali tepian baranja,
sakali raja ba® ganti,
sakali adat berobah”.
Dalam
bahasa Indonesia:
“Apabila
air meluap, tempat pemandian bergeser,
apabila
ada penggantian raja, maka adat akan berganti juga.”
Pepatah
ini mengandung pengertian, bahwa adat tidak statis melainkan berubah menurut
perubahan yang berlaku dengan penggantian kepala adat.
“Romah kumpulan bakarib babaid,
kaate sa pucuk,
ke bawah saoere,
sa utang,
sapiutang,
sa malu,
sasopan”.
Dalam
bahasa Indonesia:
“Kumpulan
rumah merupakan satu kebulatan, asal dari satu ibu pokok (ibu asal), mereka
mempunyai akar-tunggang sama, sebagai juga hanya mempunyai satu pucuk (yaitu
satu kepala famili bersama).”
Pitua
ini menunjukkan adanya dasar tanggung menanggung, dasar solidaritas famili
terhadap segala utang piutang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar